Sabtu, 09 April 2011

Curhatan Masa Lampau Yang Tragis

"Yang ku harapkan darimu ialah agar kau ikut merasakan, yakin dan percaya padaku jika ku katakan padamu, bahwa aku terpenjara oleh sang waktu dan keadaan. Aku tidak meratapi keadaan ini karena aku suka diriku apa adanya, dan aku menerima keadaan ini karena aku telah memilih kamu dalam hidupku ,dan menyadari segala rintangan serta penderitaan yang mengitarinya. Tanpa kehadiran keaadaan ini, kerja dan perjuangan tidak akan terwujud, dan hidup akan menjadi dingin, mandul dan membosankan..
Kau disana di Solo yang cantik dan damai, dan aku di Jakarta yang bising dan hiruk-pikuk. Kau di timur dan aku di barat. Tapi jarak yang memisahkan kita tak ada artinya. Aku merasa kau lebih sedekat padaku dari sebelumnya, sementara orang merasa berat melepas kepergian sahabat atau kekasih yang di cintainya. Karena mungkin, mereka merasakan kebahagiaan percintaan itu lewat panca indera. Tetapi jiwaku lebih tinggi dari itu, jiwaku hanya melihat, mendengar dan merasa, tetapi tidak melalui mata, telinga dan jari-jemari?
Bagaimana keadaan kota Solo sekarang? Adakah ia secantik hasrat kerinduan mu yang tersimpan? Huhh.. Aku tinggal di sebidang tanah gersang dengan kemalasan di atasnya. Lalu, di kota ini dan sekitarnya, panas sangat menyengat! Aku tak kuasa mengubahnya menjadi dunia kata-kata.
Sejujurnya, sayang, rinduku sangat amat mendalam. Huhh.. Mungkin aku akan lebih baik diam hingga hati ini kembali pada keadaan seperti kemarin yang lalu.."

Djakarta,
Kamis, 13.02.2010.



Jeda



Hey kau,
Bukankah ini perjalanan ku, yang di katakan sebagian orang bahwa Tuhan menciptakan dunia serta isinya ini semuanya akan terjadi secara 'seimbang'? Kebetulan saja aku mengotori kertasku dengan coretan-coretan tentang 'kamu' karena saat itu tak ada satu carapun untuk berinteraksi karena terpentok oleh keadaanan yang begitu menyiksa dan terasa ingin sekali menggorok leher. Tidak heran bukan bahwa Tuhan menciptakan dunia serta isinya ini semuanya akan terjadi secara 'seimbang'? Saya (penulis) tersenyum puas.


Ku kirimkan lewat pesan dan terlihat begitu panjang serta membosankan pula untuk di salin. Sudah, lalu, apakah ada yang harus di salahkan? Aku? yang tidak biasa mengirim pesan-pesan curahan hati karena tidak tahan lagi melihat orang-orang menikmati percintaan seperti sewajarnya, dan seperti kami sebelum aku berada di sebidang tanah gersang dan malas ini, sehingga terlihat tidak wajar lagi bagi hubungan ini? Atau 'kamu'? Yang sengaja dengan senyum biru sambil mengatakan 'its over' entah apa atau siapa yang membuatnya? Atau bahkan Tuhan mungkin yang secara tidak langsung menjadi sopir dalam perjalanan hidup kita? Atau si 'pecundang'  itu yang dengan sengaja menusuk dari belakang dengan pisau tumpul yang berkarat sehingga memisahkan percintaan kita dengan perlahan?
Haha, Tentu saja tidak. Semua ini sudah di tuliskan dengan bahasa yang indah di atas sana.

'Kamu'  memang sudah tersenyum puas dan dengan gelak tawa yang begitu menawan karena sudah menikmati 'keseimbangan'mu yang sudah di gariskan. Ini hanya sekedar note tentang 'keseimbangan'  hidup kita masing-masing.

Lupakan sejenak, dan, lalu, kenanglah selalu dengan kesadaran kita bahwa hari itu, 29 november dua tahun silam, adalah hari yang paling indah. Saya harus menyayangi kelebihanku dengan ikhlas, dan mencintai kekuranganku dengan sabar. Dan saya harus percaya dengan sepenuh hati bahwa Tuhan itu memang ada, adil, dan menciptakan dunia beserta isinya ini semuanya akan terjadi secara 'seimbang'.



Jeda



"Engkau tahu bahwa aku yang menghabiskan sebagian besar hidupku untuk brleha-leha, menemukan kegembiraan yang mengasikkan dalam berkorespondensi dengan sahabat-sahabat yang sangat aku cintai. Engkau pun tahu bahwa aku yang pernah membanggakan kita, tak akan pernah melupakan seorang yang bernama 'engkau' sekarang ini. Segala kecintaan 'engkau' itu tetap tinggal dalam hati hingga hari tua nanti. Yang terindah dalam hidup ini ialah jika jiwa kita tetap melayang-layang di tempat kita bersenang-senang suatu kali. Akulah seorang di antara mereka yang mengingat tempat-tempat semacam itu, tanpa mengenal batas jarak dan waktu. Aku tak membiarkan sesuatu yang muncul bersama awan, dan kenangan ku yang abadi pada masa lalu itulah yang membuat aku berduka. Tetapi jika aku harus memilih antara suka dan duka, aku tak sudi menukar kesedihan hatiku ini dengan segala kesenangan semesta dunia.

Sekarang biarlah ku tutup tirai masa lalu, untuk bercerita padamu tentang anak yang senantiasa kau cintai dulu.

Dengarkanlah, aku akan membacakan bab pertama kisah si 'Aku' :
Aku seorang lelaki dengan kesehatan yang lemah, tetapi tubuh ku baik-baik saja karena aku selalu memikirkan ataupun merisaukannya. Aku suka merokok dan minum. Jika 'engkau' melongok ruangan ku sekarang, 'engkau' akan mendapatkan aku di balik tabir asap tebal yang bercampur bau harum minuman segar. Aku mencintai kerja tetapi membiarkan satu saat pun berlalu tanpa kerja. Tapi hari-hari saat diriku sedang terbengkalai dan fikiranku lagi kacau, terasa lebih pahit dari kina dan lebih mengerikan dari gerigi serigala.


Ada sebuah kabar penting bagimu. Bulan depan mendatang aku akan berangkat ke Jakarta untuk bergabung dengan sebuah keluarga yang tidak lepas dari kepenatan dalam setiap mata yang terbuka dan kembali untuk terpejam. Tidak lain adalah keluarga ku sendiri.(aneh bukan?)
Dan aku akan tinggal di sana setahun penuh, dan selanjutnya kembali ke kota ini. Aku akan mengisi waktuku disana dengan studi, riset dan kerja keras yang akan  mengawali hidup baruku. Aku merasa bahwa yang membangkitkan rasa kasih dalam diriku adalah 'engkau'. Tapi aku tidak yakin apakah masyarakat Jakarta dan keluarga akan tetap bersahabat padaku seperti selama tiga tahun berselang di kota ini. Aku katakan ini karena hantu kebencian telah muncul. Orang-orang di Jakarta menyebutku "lelaki malam". Bukankah itu wajar jika kepenatan ini selalu menyelimuti di setiap ketika matahari mulai terbenam? Tai kucing!! Katanya kota metropolitan, kenapa kalian masih berfikiran dengan budaya udik? Aku butuh teman, tempat nongkrong, tempat bertukar pikiran dan lain-lain.
Hahaha. Memang tempat ini terlalu asing buatku. Lebih baik kembali ke habitat, kerja seadanya, selalu ada di samping ketika bersedih ,selalu ada di sekitar ketika menginginkan tertawa sampai perut terasa lapar kering.

Apabila esok waktuku kan tiba, lalu tetap seperti ini, akankah aku akan meninggalkan dunia ini menuju ke keabadian tanpa meninggalkan kenangan apapun bagi keluarga dan yang lain seperti manusia yang gagal menjadi "orang"?

Lalu, berartikah masa depan dan percintaan ini kandas di jalan? Hahahaha (gelak tawaku dengan sedikit air mata)."

Solo,
Kamis, 02.09.2010.


Deny Setyawan



Djakarta
04:40am ,Sat 13 02 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar